TANGGALNYA GIGI SANG JUARA
Derasnya
hujan yang turun sore itu, tidak menghalangi niatku untuk tetap
berlatih karate. Sudah 3 tahun lebih, aku menekuni olah raga bela diri
ini. Rasanya, sangat rugi apabila melewatkan satu hari saja absen dari
latihan.
“Harinya masih hujan, Di!” kata temanku sambil menengok ke arah jendela.
“Tidak
mengapa, Sadi! Hari ini ada ujian. Apabila aku beruntung, maka aku yang
dipilih untuk mewakili dojo, bertanding di turnamen nanti!” jelasku
kepada Sadi.
Sadi
adalah teman satu rumah dengaku. Kami berasal dari daerah yang sama.
Juga berada pada program studi yang sama. Yang membedakan, aku lebih
senang berorganisasi dan olah raga. Sedangkan teman karibku itu, lebih
menekuni kuliahnya. Hanya belajar. Tugas dan kampus, itu semboyannya.
Hujan.
Ya, harinya masih hujan. Akhirnya, aku nekat menembus derasnya hujan
sore itu. Sampainya ditempat latihan, aku pun menjalani ujian.
Sesuai
harapanku, aku lulus. Dan dinyatakan, dapat bertanding mewakili
teman-teman yang lain dalam turnamen memperebutkan piala Gubernur nanti.
Dengan perasaan senang dan bangga, aku pulang ke rumah tanpa lelah.
“Bagaimana, Di? Lulus ujiannya?” tanya Sadi.
“Alhamdulillah, aku lulus. Bulan Maret acaranya,” jawabku.
Malam
harinya, aku ambil telepon seluler yang ada di meja belajarku.
Sesegeranya aku menekan tombol dan terhubung pada satu nomor, ibuku.
Kabar bahagia sore tadi, akan kubagi bersama ibu dan ayahku di kampung.
Tentunya mereka akan bangga denganku. Walaupun hanya mewakili dojo. Tapi
aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik saat turnamen dan menjadi
sang juara.
Seperti
yang sudah kuduga. Mereka sangat mendukung dan memberikan doanya untuk
keberhasilanku. Aku senang. Sepertinya malam ini, aku akan bermimpi
indah.
Hari-hari
aku lalui dengan terus berlatih. Berusaha sekuat tenaga agar bisa
optimal nantinya di turnamen. Tanpa melewatkan satu hari pun absen untuk
berlatih.
Akhirnya, hari itu datang juga.
Maret,2009.
Rasanya tak sabar menanti pagi. Malam itu, terasa lama bagiku. Besok turnamen itu dimulal. Aku bertanding di sana.
“Siapa musuhku? Bagaimana permainanku? Apakah aku akan selamat?” tanyaku dalam hati.
“HuuhhlAku yakin dengan kemampuanku!” pikirku lagi didalam hati.
Matahari bersinar terang. Pagi pun telah datang.
“Aku siap!” kataku berbicara didepan cermin.
Setelah
sarapan dan menyiapkan hal-hal yang diperlukan, aku segera berangkat ke
GOR Hasanudin. Betapa terkejutnya aku. GOR sudah dipenuhi para pemain
dan penonton.
“Aku pasti bisa, aku pasti sanggup!” kataku dalam hati, memberi motivasi agar tidak merasa gugup saat bertanding.
Namaku
di panggil. Artinya, aku harus bertanding. Tanding pertama aku melawan
Toni dari kabupaten Balangan. Seorang anggota POLRI yang berperawakan
tinggi besar.
Aku
menang. Ya, aku berhasil mengalahkannya. Tinggal menunggu tanding untuk
kedua kalinya. Apabila aku menang lagi, aku akan masuk ke semifinal.
Semoga.
Setelah menunggu beberapa menit lamanya.
“Adi Rahman!” kata seorang pemandu acara memanggilku.
Itu pertanda aku harus tanding ntuk kedua kalinya. Kali ini aku melawan Mizeriannor dari kabupaten Banjar.
“Bissmillah,” ucapku.
Pertandinganpun
dimulai. Berlangsung sengit. Sekuat tenaga aku bertahan. Dan tanpa
disadari aku mematahkan gigi lawanku. Mataku pun tercengang meliat gigi
lawanku yang jatuh ke matras dan darah yang juga bercucuran keluar dari
mulutnya.
Namun setelah bertanding dengan segala kemampuanku. Ternyata aku tak bisa mengimbangi kemampuan lawanku itu. Walaupun giginya telah aku patahkan. Semangatnya untuk mengalahkanku tidak padam begitu saja.
“Mungkin bukan rejekiku untuk menang saat ini, tapi aku telah bangga dengan segala
usahaku ini!” ucapku.
Ternyata,
usaha keras dan rasa ikhlas menerima kekalahan, akan membuat jiwa kita
menjadi lebih baik. Apa jadinya apabila aku tidak mengakui kehebatan
lawan, tentu aku akan mengalami kekecewaan yang besar.
Di lain kesempatan, akan aku buktikan. Akupun mampu menjadi sang juara, tanpa harus kehilangan gigiku.